Kami baru aja nikah bulan Desember tahun lalu. Kata orang, setelah nikah, jangan pernah mbayangin pasangan kamu adalah org yang sama pada saat masih pacaran, itu mah nggak ada tai-tainya. Haha. Dan itu bener banget sih. Walaupun kami pacaran udah hampir 10 tahun, ada banyak hal-hal kecil yang baru saya tahu dari Nesya.

Saya baru sadar kalau selera kami beda 180 derajat. Kadang2 perbedaan selera ini bikin ribut juga sih, tapi masih dalam tahap yang wajar. Pernah suatu malam dalam kondisi laper bgt sepulang dari lab, saya minta tolong Nesya buat bikin telor ceplok. Dari dulu tu saya nggak pernah suka telor ceplok setengah mateng, nggak enak aja gitu makan telor yang masih kondisi cair. Nah, tapi malam itu, Nesya malah bikin telor setengah mateng. Ya terang aja, saya langsung marah2lah, apalagi ditambah perut yg laper bgt. Makin lengkaplah emosi saya. Pas saya protes, “Lho, kok setengah mateng Nes?” Dia dng entengnya njawab “Iya, lah aku sukanya ceplok setengah mateng kok, lagian aku males nungguin sampek telornya mateng” Whatttt..padahal kayanya nungguin telor mateng itu cuma butuh 1 menit lho, nggak habis pikir banget deh.

Satu kejadian lagi, suatu pagi dia pernah ceramah panjang lebar gara2 saya minum kopi tapi pake gula plus nungguin sampek kopinya nggak terlalu panas. Lngsung deh, pagi itu dia lecture panjang lebar ttg gimana cara menikmati kopi dng baik dan benar. Yang harus ginilah, yang harus gitulah. Bagi dia, minum kopi dengan caraku adalah food crime yang patut untuk diberantas. Itu sama levelnya kaya makan es krim pake nasi deh. Trus, gelut meneh, syem.

Masih banyak perbedaan selera yang terkuak akhir-akhir ini, soal cara pake selimut, cara makan roti tawar, cara cuci piring, selera terhadap rasa, dan berbagai macam hal. Saya yang dari dulu mikir bahwa selera dan visi kita thdp sesuatu tidak terlalu berbeda dan nggak pernah gelut gara2 masalah2 kecil kaya gini, kadang2 tertegun aja berhadapan dengan kenyataan ini. Puyeng juga lho. Nggak bisa mbayangin gimana mereka yang nikah-nikah muda gitu, apalagi tanpa pacaran, mungkin adaptasinya bisa gila-gilaan tuh sama pasangannya.

Ya begitulah, kadang, sadar atau nggak, kita biasa memaksakan selera kita pada pasangan. Kita sibuk utk mengubah pasangan menjadi seperti apa yang ada di kepala kita. Kita kadang sering lupa untuk menerima dan memaklumi selera pasangan kita. Padahal standard nilai dan perilaku tiap2 individu kan berbeda2, nggak bisa dipaksakan. Apa yang membuat hati menjadi nyaman kan juga bergantung masing2 org.

Seringkali, kalau seleranya tidak sesuai dng apa yang kita pahami, kita bakal berusaha sebisa mungkin utk menolak selera pasangan kita. Kita jadi terus2an mendikte apa yang harus pasangan kita lakukan. Pokoknya seleraku yang paling bener, seleramu itu nggak mutu. Jadi ya kamu harus ikut caraku. Meh.

Kalau selera itu terkait dng kepentingan banyak orang, mungkin saya masih bisa memahami, misalnya selera baju pada saat kondangan. Tapi kalau dalam kasus telor ceplok sama kopi kan nggak ada sangkut pautnya sama orang lain. Wong yang makan/minum ya saya sendiri. Kenapa diprotes? Nak yo aneh banget to. Hahaha.

Nah, salah satu masalah yang patut untuk diperhatikan adalah sering salah satu pasangan itu cuman diem aja, nggak berani mengungkapkan apa seleranya. Mereka cuma manut-manut aja kalau disuruh ini itu sama pasangannya. Yang nyuruh juga nggak pernah mau tau juga perasaan pasangannya, mbok ya pasangannya itu ditanyain “Gimana pendapatmu kalau gini…” Kan jadi enak gitu lho. Ada obrolan yang terbangun antara kedua belah pihak. Jangan sampek, keengganan untuk bilang sama pasangan jadi magma yang bakal meledak sewaktu-waktu. Nanti pas lagi emosi gara2 masalah lain, yang beda-beda selera gini bisa jadi amunisi ampuh buat memanaskan suasana. “Aku tu nggak suka kamu pagi2 ngentut di depan mukaku! Kita putus! “

Ya gitu2 deh…baik-baik ya…^^

 

Leave a comment